Selasa, 19 Februari 2013

Tirani Birokrasi Atas Agama (4)




Sejarah penyanderaan Teks Suci kementerian Agama untuk meraup dana rakyat merupakan jejak yang cukup panjang, bermodal sodoran sebuah ”Teks-teks” Suci dapat menebar ketakutan . Orang yang mahir (fasih) membaca firman Tuhan tidak menjamin lantas kemudian mampu melawan arus korupsi. Terbukti banyak koruptor yang tidak sedikit di antara mereka justru menjadi Ikon agama di komunitasnya. Jalan panjang hitamnya jejak Ikon Agama mengindikasikan buntunya jalan pencerahan bangsa.

Jejak kaum Hipokrit di Kementerian Agama

Korupsi Moral menggunakan  simbol Agama ini semakin Kongkrit  jika merujuk survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir 2011 lalu. Hasil survei menempatkan kaum ”Birokrat Hipokrit” terpuruk dalam korupsi.  Survei yang dilakukan di 22 instansi pemerintah pusat itu, kualitas hipokrit birokrasi Kementerian Agama (Kemenag) justru keluar sebagai yang terbaik dalam indeks kemunafikan

Heboh tentang korupsi di kementerian Agama  ini adalah apa yang dilakukan Menteri Agama periode 2001-2004, Said Agil Husin Al Munawar. Hanya dalam jangka tiga tahun, 2002-2004, dia berhasil ”menggarong” dana Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) senilai Rp35,7 miliar dan Dana Abadi Umat (DAU) senilai Rp240,22 miliar. Akibatnya, menteri yang juga tokoh agama ini harus merasakan pengapnya penjara selama lima tahun. Pada saat Bersamaan kasus yang sama, Korupsi Dirjen Haji Taufik Kamil yang juga turut menggarong dana Haji.

Jika menegok catatan sejarah korupsi di negeri ini harus diakui,  bahwa kalangan ”Intelektual agamis” justru sebagai ”pelopornya”. Menengok koruptor dari kelas mantan menteri yang pertama masuk bui, di jajaran Kemenag–yang dulunya bernama Departemen Agama–yang mengawalinya adalah KH Wahib Wahab.
Dalam catatan almarhum Rosihan Anwar per 30 Oktober 1962, putra sulung pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Abdul Wahab Hasbullah, itu dituntut jaksa dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp15 juta. Setengah bulan berikutnya, Wahib dijatuhi vonis enam tahun oleh hakim.

Kemesraan hubungan Sang  “Residivis Wahib”  dengan penguasa, dimanfaatkan untuk memperingan hukuman lewat jalur grasi. Menteri Agama yang menggantikan Wahab, KH Saifuddin Zuhri, memohon kepada Soekarno agar menghentikan tuntutan kepada Wahib. Sebaliknya, Soekarno meminta Konpensasi kepada menteri agama menikahkan dirinya dengan Haryati, sebagai istri ketiga (Andree Feillard, 1999).
Sejarah pun mencatat, Wahib Wahab bebas, Soekarno menikmati bulan Madu pernikahan  untuk kali ketiga, sehingga Tawar menawar diatas patut dianggap  bahwa kategori Gratifikasi Sex sudah lama berlangsung.

Esensi Agama diharapkan punya kewenangan moral menyelesaikan korupsi. Agama punya kemampuan menciptakan pemahaman yang tidak cepat lekang di bawah sadar seseorang dalam membangun ruang koeksistensi normativitas dan historisitas agama. Hanya saja, pemahaman di otak memang tidak selamanya membuat seseorang mau mengimplementasikannya dalam laku keseharian. Inilah salah satu penyebab yang membuat simbol agama malah menyeret dalam semarak korupsi yang tegak membusung dada di lembaga kementerian Agama.
Bahan Kutipan :