Secara garis besar, terorisme dapat diartikulasikan
dalam tiga bentuk, yakni bersifat personal, kolektif, dan terorisme
yang dilakukan Negara. Secara konseptual, terdapat berbagai definisi
mengenai terorisme mulai dari Kauppi, Whittaker, Cronon, Chalk,
Choamsky, dll. Namun, dari berbagai pengertian tersebut dapat
disimpulkan secara umum untuk
memahami terorisme,
yaitu suatu aksi kekerasan yang mempunyai motivasi politik dan
fundamental dengan tujuan untuk menebarkan teror dan ketakutan baik
psikologis maupun fisik terhadap orang-orang sipil tak berdosa (publik).
Berdasarkan definisi umum tersebut, terdapat lima elemen dalam
terorisme yang umum dilakukan oleh organisasi non state, yaitu
(1) motif dan tujuan politik,
(2) ancaman dan kekerasan,
(3) efek psikologis dan teror terhadap publik atau korban,
(4) diatur dengan rapi melalui rantai komando atau struktur jaringan sel antar teroris,
(5) dilakukan oleh aktor non-state.
Dari lima elemen tersebut ada lima karakteristik terorisme, yaitu
(a) aksi terorisme biasanya memakan korban yang masif,
(b) ada hubungannya dengan gerakan religius,
(c) memiliki jaringan organisasi terstruktur diberbagai negara,
(d) memiliki akses dan kemampuan untuk menggunakan WMD, dan
(e) adanya wilayah abu-abu dalam memahami fenomena terorisme itu sendiri,
Nah bagaimana jika terorisme diperankan oleh Negara ?
Penggagas istilah ini adalah Mahatir
Muhammad, mantan perdana menteri Malaysia. Menurutnya, terorisme yang
dikerahkan oleh negara tidak kalah dahsyatnya dengan personal maupun
kolektif. Kalau kedua bentuk teror yang pertama dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, sedangkan terorisme negara dilakukan secara
terang-terangan (Sunardi dan Abdul Wahid, 2004: 41)
Terorisme Negara (state terrorism), tergantung pada konteksnya sesungguhnya, dapat mencakup tindakan-tindakan kekerasan atau penindasan yang dilakukan oleh suatu pemerintahan . Sejauh mana suatu tindakan tertentu dapat dianggap sebagai “terorisme” tergantung pada apakah si pemenang menganggap tindakan itu dapat dibenarkan atau perlu, atau sejauh mana tindakan teroris itu dilakukan sebagai bagian dari suatu konflik .
Terorisme negara dapat ditujukan kepada penduduk negara yang
bersangkutan, atau terhadap penduduk negara-negara lainnya. Untuk ini
Zionis Israel menjadi contoh aktual bagaimana Wajah terorisme yang disponsori Negara dengan mengerahkan segala kekuatan mematikan untuk menebar terror secara massif atas rakyat Palestina.
Dalam kontek Teroisme Negara melalui
kebijakan Waiting List haji (daftar Tunggu) pembatasan Ibadah Haji
dengan berbagai argumentasi fiktif dan anarkis yang di Perankan Para
Birokrat Hitam Kementerian Agama yang dipimpin seorang Politisi
Suryadharma Ali menunjukkan tipologi terorisme yang di sponsori Oleh
Negara melalui kebijakan. Soft Terorisme patut menjadi sebutan bagi
penindasan yang dilakukan Kemenag atas pengungkungan kebebasan Umat
Islam dalam menjalankan Perintah yang sangat fundamental yakni
menunaikan Ibadah Haji.
Efek massif dari terorisme Kemenag dapat
dilihat jumlah Pendaftar berkisar 2 juta orang calon haji yang mesti
menyetor dana yang tidak sedikit ke rekening menteri yang notabenenya
Seorang Politisi. SDA sebagai Politisi tentu akan didukung kelicikan
kekuatan birokrasi Kemenag yang menjadi bawahannya mengartikulasikan
motif politik dan ekonomis yang begitu dahsyat atas Sistem daftar Tunggu
Haji.
Penyelenggaraan ibadah haji yang menggunakan sistem daftar tunggu
dengan mewajibkan setoran biaya uang muka sebesar Rp 25-40 juta, dinilai
sebagai sebuah ‘Bom waktu’ yang menebarkan teror. Psikologis
Sebab, seorang calon jamaah haji harus menunggu bertahun-tahun sebelum dapat menunaikan ibadah rukun Islam ke lima. pola
penyelenggaraan semacam ini merupakan bentuk penyelewengan kewenangan
yang secara sistematis dilakukan oleh kementrian pimpinan Suryaharma
Ali, karena telah melakukan penumpukan uang triliunan milik calon jamaah
haji hingga puluhan tahun. sebagaimana yang diberitakan ( http://www.poskotanews.com/2012/09/05/wajib-setor-rp-25-40-juta-teror-bagi-calon-haji/ )
Syariat Islam telah
menetapkan kebebasan melaksanakan ajaran-ajaran pelbagai agama ( baik
Islam atau bukan). Hal ini bertujuan agar kebebasan ini tidak
mengakibatkan kekufuran bagi umat Islam dan kesesatan yang bersifat
menentang simbol-simbol ke-Islaman. Rekaman realita kebebasan beragama
sepanjang sejarah Islam bisa dilihat dalam piagam Madinah. Rasulullah
Saw telah menetapkan kebebasan orang Yahudi dengan ketiga golongannya di
Madina. Ini merupakan contoh penting bagaimana Negara yang sekalipun
jelas-jelas sebagai Negara Islam malah oleh Nabi Sendiri memberikan
Kebebasan bagi Penganut Agama Lain yang tidak boleh dilanggar atas nama
apa pun
Terorisme Negara adalah bentuk teror yang
paling membahayakan di era global. Sebuah negara dengan kewenangan,
kekuatan teknologi, ekonomi, dan militernya yang mumpuni dapat mengancam
kebebasan rakyatnya sendiri atau bahkan keberlangsungan perdamaian dan
peradaban umat manusia.